Minggu, 27 November 2011

Emile Durkheim


Emile Durkheim

EMILE DURKHEIM (1858 -1915)
Dia bersal dari keluarga Yahudi dan hidup di Timur Laut Perancis. Durkheim belajar tingkat diploma di bidang sosiologi pendidikan.
Kemudiaan mengambil Doktor di Ecole Normal Superieure (1893), di Jerman. Dia hidup pada masa ideologi generasi positivis dan pengaruh dari para akademisi Republik. Setelah lulus sebagai doktor, dia kembali ke Perancis dan sebagai dosen pada mata kuliah ilmu Sosial dan Paedagogi di Bordeaux (1897). Kemudian dia pindah ke Sorbone dan diangkat menjadi salah satu guru besar. Dia hidup di Sorbone sampai meninggal dunia.
Durkheim tertarik dengan moralitas, karena pada saat dia hidup revolusi Perancis sedang terjadi. Konflik di mana-mana dan situasi politik begitu kacau. Durkheim berpikir, jika ada sesuatu yang bisa dibuat bersama maka konflik itu akan berkesudahan. Sesuatu itu menurut Duekheim adalah konsensus bersama. Oleh sebab itu teori Durkheim yang tekenal adalah teori Konsensus.

Pandangan Tentang Manusia
Teori Durkheim mengenai kodrat manusia adalah dengan mengi­kuti gagasan-gagasan Hobbes yang mengatakan bahwa manusia adalah seberkas penginderaan-penginderaan, refleks-refleks dan naluri-naluri, tetapi dengan dua modifikasi:
  • Individu pada dirinya tanpa rasio, dan
  • Manusia tidak mempunyai pola-pola nafsu yang tetap yang mau tak mau dan niscaya terarah menuju tujuan-tujuan khusus seperti pemeliharaan diri dan kejayaan.
Jadi, dalam individu tak ada apa-apa dengan rasio atau naluri untuk membatasi cakupan dan jangkauan nafsu­-nafsunya.
Kecenderungan-kecenderungan kodrat manusia yang diba­yangkan Hobbes bersifat universal dalam kenyataan bersifat sementara dan lokal.
Durkheim memandang kodrat manusia sebagai sebuah abstraksi yang hampir total dari tingkah laku manusia-manusia actual dalam situasi real.  Apa yang biasanya kita anggap sebagai ciri-ciri universal kodrat manusia, termasuk kemampuan untuk memilih dan bernalar se­benarnya merupakan produsi situasi lingkungan yang sama-sama dimiliki semua manusia-kehidupan di dalam kelompok sosial tertentu.
Durkheim menjelaskan tentang anomie, sebuah kondisi manu­siawi yang ditandai oleh tidak adanya peraturan sosial adalah pandan­gannya tentang bentuk keadaan manusia yang tidak sosial, non rasional dan tak berbentuk. Anomie adalah penemuan konseptual Durkheim yang paling khas dalam teori sosialnya. Di dalam analisisnya tentang tatanan sosial, dia mengandaikan bahwa bilamana kekuatan-kekuatan moral ke­hidupan sosial ambruk, individu sama sekali berada di laut tanpa gagasan apapun tentang tujuan apa yang harus dicapai atau bagaimana hidup se­cara memuaskan. Jadi “anomie” adalah sebuah kondisi masyarakat di­mana agama, pemerintah dan moralitas telah kehilangan keefektifannya

Pandangan Tentang Masyarakat
Manusia secara kolektif mempunyai kepentingan satu terhadap yang lain. Durkheim melihat ada perkembangan tingkat solidaritas pada masyarakat. Pada masyarakat yang sederhana yang hubungan antar indi vidu masih dekat, maka solidaritas yang terbentuk adalah solidaritas mekanik. Solidarstas mekanik terjadi karena masing-masing anggota masyarakat merasa bagian dari masyarakat tersebut.
Dengan berkembangnya masyarakat dan semakin kompleks maka solidaritas yang ada pada masyarakat tersebut adalah solidaritas organis. Solidaritas organik terjadi karena sudah ada diferensiasi dan spesialisasi fungsi dari masing-masing anggota masyarakat, sehingga mereka saling ada ketergantungan. Agar tetap dapat melangsungkan hidupnya maka mereka saling bekerjasama berdasarkan fungsi mereka masing-masing.

1.      Landasan Teori
Durkheim mengajukan pengakuan untuk gagasan sebuah ilmu pengetahuan tentang masyarakat yang bisa meyumbangkan pemecahan atas masalah-masalah moral dan intelektual masyarakat. Dia berusaha menjadikan pandangan ini sebuah kenyataan di dalam studi-studi pokok mengenai hakikat solidaritas sosial.

2.      Pendekatan Durkheim
Dukheim dipengaruhi oleh Aguste Comte yang adalah perintis paham positisme. Filsafat positif, berakar kuat dalam kekaguman Durkheim. Sehingga ia menerapkan metode tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip keteraturan dan perubahan di dalam masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah susunan pengetahuan baru yang bisa dipakai untuk mengorganisasikan masyarakat demi perbaikan umat manusia. Pendekatan ilmiah dan rasionalis, yang dikombinasikan dengan sebuah perspektif sejah.

3.      Teori Durkheim tentang Manusia
Durkheim berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang jelas bersifat manusiawi –seperti bahasa, moralitas, agama dan kegiatan ekonomi. Memang persis karena tekanan Durkheim bahwa betapa sedikitnya indivdu sebagai baha mentah yang dapat dibentuk oleh pengaruh kehidupan kelompok dapat melampauhi masyarakat. Durkheim memandang kodrat manusia sebagai sebuah abstraksi yang hampir total dari tingkah-laku manusia-manusia aktual dalam situasi-situasi rel.

4.      Teori Durkheim tentang Masyarakat
Bagi Durkheim, masyarakat adalah sebuah tatanan moral, yaitu seperangkat tuntutan normatif lebih dengan kenyataan ideal daripada kenyataan material, yang ada dalam kesadaran individu dan meski demikian dalam cara tertentu berada di luar individu. Durkheim membagi dua konsep yang berhubungan tentang kenyataan sosial dalam masyarakat, yaitu: gambaran kolektif dan kesadaran kolektif.  Gambaran kolektif adalah simbo-simbol yang memiliki makna yang sama bagi semua anggota dalam masyarakat. Sedangkan kesadaran kolektif adalah gagasan yang dimiliki bersama dalam sebuah masyarakat.

5.      Implikasi-Implikasi Praktis
Telaah Durkheim terhadap tatanan sosial dan khsusnya dengan disintegrasi masyarakat-masyarakat yang bercirikan pembagian kerja yang dipaksakan dilukiskan dengan pandangannya dalam Suicide tentang apa yang terjadi kalau kekuatan penata masyarakat hancur. Implikasi praktis dari Suicide searah dengan Division of Labour di mana ia persis mencapai kesimpulan yang sama mengenai kebutuhan akan penataan organis untuk memebendung anomie.


6.      Penilaian dan Kristik terhadap Durkheim
Durkheim merangsang penilaian kritis tidak semata-mata sebagai seorang filsuf yang merekomendasikan sebuah pendekatan metodologis khusus terhadap studi sosial, tetapi juga menurut standar-standar khusus terhadap studi sosial, tetapi juga menurut standar-standar empiris yang ditemukannya sendiri. sebagai seorang empiris praktis dia tak bisa menutup bahannya terhadap prosedur-prosedur pengujian ilmiah.
Teori dan gagasan
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern[1]. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim)

Tentang pendidikan
Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini sebagian karena ia secara profesional dipekerjakan untuk melatih guru, dan ia menggunakan kemampuannya untuk menciptakan kurikulum untuk mengembangkan tujuan-tujuannya untuk membuat sosiologi diajarkan seluas mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik pada bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis semacam latar belakang sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai sumber solidaritas bagi orang-orang dewasa.
Durkheim berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi:
1) Memperkuat solidaritas sosial
  • Sejarah: belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang membuat seorang individu merasa tidak berarti.
  • Menyatakan kesetiaan: membuat individu merasa bagian dari kelompok dan dengan demikian akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.
2) Mempertahankan peranan sosial
  • Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan, tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang muda untuk memenuhi berbagai peranan.

3) Mempertahankan pembagian kerja.
  • Membagi-bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka.

KONSENSUS DAN KEBERSAMAAN DALAM PENDIDIKAN

Pengertian konsensus disini adalah kesepekatan para ahli/ pakar dibidangnya bahwa suatu ukuran/instrumen memang benar atau tepat adanya mengukur suatu fenomena/gejala.
Tokoh sosiologi yang dikenal dengan teori konsensus adalah Emile Durkheim, karena ia banyak berbicara tentang solidaritas sosial dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai moralitas dan agama. Berdasarkan konsep solideritas sosial sebagai wujud konsensus masyarakat, maka hubungan individu dibangun sesuai dasar-dasar moral , agama, kepercayaan, tradisi atau adat istiadat yang sudah diakui dan dianut oleh masyarakat. Solideritas sosial berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Secara antropologis, Durkhem melihat perlnya alat perekat solideritas atas dasar konsensus masyarakat yang bisa mewujudkan integrasi, dalam hal ini adalah paham-paham kolektif, yang biasa bersumber dari paham-paham individual, melalui prosers internalisasi, sosialisasi, institusionalisali dan sangsi-sangsi sosial, paham individual berkembang serta diakui menjadi paham kolektif( termasuk moral, agama dan tradisi)yang akhirya bisa menjadi kekuatan memaksa.
Islam memiliki suatu konsep solideritas sosial yang akan membawa sosial masyarakat berjalan dengan baik yaitu konsep Ukhuwah islamiyah yaitu:

1. Menghargai perbedaan
2. Menghormati hak asasi
3. Menghindari prasangka buruk
4. Meninggalkan prilaku sombong
5. Memelihara kebersamaan.


Kerjasama dalam Pendidikan merupakan interaksi di antara individu dan kelompok, kelompok dengan kelompok, atau dengan perkataan lain secara khusus sosiologi pendidikan itu membicarakan, melukiskan dan menerangkan institusi, kelompok, sosial, dan proses sosial, kerjasama antara relasi sosial di mana di dalam dan dengannya manusia memperoleh dan mengorganisir pengalamannya. Jadi kerjasama dalam pendidikan tidak hanya terbatas pada studi di sekolah saja, tetapi lebih luas lagi ialah mencakup institusi sosial dengan batasan sepanjang pengaruh daripada totalitas milieukurtural terhadap perkembangan kepribadian anak.seperti kerjasama keluarga dengan lembaga pendidikan untuk bersama-sama mengawasi perkembangan pendidikan si anak, dengan adanya kerjasama yang baik antar komponen pendidikan, suatu tujuan pendidkan akan tercapai dengan baik.


Teori Konsensus dan Teori Konflik
Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan. Selain itu, sebagai perbandingan John Hagan mengklasifikasikan teori-teori kriminologi menjadi :
         Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.
         Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal/hidup.
         Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.
Dari klasifikasi di atas, dapat ditarik konklusi bahwa antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain tidaklah identik/sama. Aspek ini teoritisi utama (dramatis personal) yang mencetuskannya. Selain itu, pengklasifikasian teori juga dipengaruhi adanya subyektivitas orang yang melakukan klasifikasi sehingga relatif menimbulkan dikotomi dan bersifat artifisial.
Daftar pustaka
Durkheim, The Division of Labor in Society, (1893) The Free Press reprint 1997, ISBN 0-684-83638-6

2 komentar: