Minggu, 27 Mei 2012

Pokok pemikiran aguste comte


   Pendahuluan
Selintas apabila melihat manusia yang satu ini pastinya semua akan berpikir, apakah manusia ini gila ataukah cerdas ?  Begitupun saya pada awalnya yang mencoba mempelajari sosiologi dan pemikirannya manusia yang satu ini, Auguste Comte. Seorang yang brilian, tetapi kesepian dan tragis hidupnya.
Auguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan politik pada masanya.
Comte sebagai mahasiswa di Ecole Politechnique tidak menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang memberikan dukungannya kepada Napoleon dipecat, Comte sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan bahwa Comte memiliki prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat.
Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannyapun dasarnya bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte tidak menolaknya.
Tiada gading yang tak retak, istilah yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi intelektual dari keduanya.
 
Sejak saat itulah Comte mulai menjalani kehidupan intelektualnya sendiri, menjadi seorang profesional lagi dan Comte dalam hal yang satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual yang termarjinalkan dikalangan intelektual Perancis pada zamannya.
2.      Perkembangan Masyarakat
Kehidupan terus bergulir Comte mulai melalui kehidupannya dengan menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat. Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mecukupi kebutuhannya dan mengenai karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami fluktuasi dalam penyelesainnya dikarenakan intensitas Comte dalam pengerjaannya berkurang drastis.
Comte dalam kegelisahannya yang baru mencapai titik rawan makin merasa tertekan dan hal tersebut menjadikan psikologisnya terganggu, dengan sifat dasarnya adalah , seorang pemberontak akibatnya Comte mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan itu menambah mengembangnya sikap pemberang yang telah ada, tidak jarang pula perdebatan yang dimulai Comte mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian.
Kegilaan atau kerajingan yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Caroline Massin, seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte ditahun 1825. Caroline dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara material saja  tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena tidak ada perubahan perlakuan dari Comte untuk Caroline dan hal tersebut mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte. Comte kembali dalam kegilaannya lagi dan sengsara.
Comte menganggap pernikahannya dengan Caroline merupakan kesalahan terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang mulai memiliki kestabilan emosi ditahun 1830 tulisannya mengenai “Filsafat Positiv” (Cours de Philosophie Positiv) terbit sebagai jilid pertama, terbitan jilid yang lainnya bertebaran hingga tahun 1842.
Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan Comte  sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa kehidupan  yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar  pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu: 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum  itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakannya positivisme semakin besar volumenya, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan agitasinya tentang ilmu pengetahuan positiv pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus     
Uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar. Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan  penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.
Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.
Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tiga stadia”. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.
Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif  yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah. Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. “Ini hari sialku, memang sudah takdir !”, “penyakit AIDS adalah penyakit kutukan!”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari. Tahap positiv, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.
Comte jelaslah dapat terlihat progresivitasnya dalam memperjuangkan optimisme dari pergolakan realitas sosial pada masanya, dengan ilmu sosial yang sistematis dan analitis. Comte dikelanjutan sistematisasi dari observasi dan analisanya, Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya ini terklasifikasi atas dua bagian, yaitu: sosial statik dan sosial dinamik.
Sosial statik dan sosial dinamik hanya untuk memudahkan analitik saja terbagi dua, walaupun begitu keduanya bagian yang integral karena Comte jelas sekali dengan hukum tiga tahapnya memperlihatkan ilmu pengetahuan yang holistik. Statika sosial menerangkan perihal nilai-nilai yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu membutuhkan sosial order karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama dan  berdiri atas keinginan bersama, dapat dinamakan hukum atau kemauan  yang berlaku umum. Sedangkan sosial dinamik, ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya.
Pemandangan Comte rasanya dapat terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas sosial yang menginginkan perubahan sosial secara cepat, revolusi sosial.
Comte terpaksa memberikan stigma negatif terhadap konflik, letupan-letupan yang mengembang melalui konflik dalam masyarakat karena akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan sosial yang nantinya mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial, anarkisme intelektual. Keteraturan sosial tiap fase perkembangan sosial (sejarah manusia) harus sesuai perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap proses fase-fasenya (perkembangan) bersifat mutlak dan universal, merupakan inti ajaran Comte.
Comte memainkan peran ganda pada pementasan teater dalam hidupnya, pertama-tama Comte yang menggebu dalam menyelematkan umat manusia dari “kebodohan”, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan pemikiran dengan wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua, Comte menolak keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual.
Comte adalah seorang yang radikal tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi.
3.      Pluralitas Ekstrim
Follow up atas radikalisasi Comte, antara progresivitas untuk menciptakan perubahan sosial dengan penjagaan atas keteraturan sosial menjadi bahan kontemplasi dan observasinya. Comte sangat berjuang keras dengan  idealismenya (positivisme) agar tercapai  dan dapat mengatasi keguncangan akibat kecemburuannya, harapan dan kenyataan yang mungkin tidak akan sama nantinya yang akan terjadi pada manusia.
Pada saat tertentu Comte ulas balik kembali untuk mencari sumbangan sosial para intelektual sebelum Comte, dan terdapati oleh Comte tentang konsensus intelektual. Konsensus intelektual selalu menjadi dasar bagi tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. Dan nilai tersebut, diadopsi dari khasnah masyarakat  teologis oleh Comte. Comte melihat agama memiliki ikatan emosional yang tinggi bersandarkan sistem kepercayaan yang satu dan itu mendorong kebersamaan umat manusia menjalankan ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal yang bernuansa transendental dengan mengutamakan solidaritas sosial dan konsensus.
Menurut Comte hal ini tepat bila akan digunakan sebagai satu formulasi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi, perubahan secara cepat atau revolusi sosial. Namun Comte, tidaklah dapat mengandalkan agama yang konvensional apabila ingin mengadakan sinkronisasi dan konsisten dalam  pengembangan ilmu pengetahuannya, positivisme.
Rutinitas Comte yang sangat ajek ternyata tidak mengaburkan Comte dari sense of romance-nya, Comte bertemu seorang perempuan yang bernama Clotilde de Vaux di tahun 1844. Walaupun, Comte sangat mencintainya hingga akhir hayat Clotilde tidak pernah menerima cinta Comte karena sudah memiliki suami, walau suaminya jauh dari Clotilde. Comte hanya sempat  menjalankan hubungan yang platonis, 1845 Comte menyampaikan hasratnya dan hal tersebut tahun yang fantantis bagi Comte. Clotilde de Vaux meninggal pada tahun 1846 karena penyakit yang menyebabkan tipis harapan sembuhnya dan Clotilde masih terpisah dengan suaminya.
Pada saat itulah mungkin Comte mulai memikirkan perihal keluarga, keluarga dianggap kesatuan organis yang dapat menyusun pemikiran-pemikiran sedari awal bagi manusia-manusia baru (pasangan suami-istri). Internalisasi nilai-nilai baru, tentunya yang positif. Comte yang percaya bahwa perubahan tidaklah akan begitu tiba-tiba datangnya dalam masyarakat. Comtepun percaya akan humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan social, eskalasi keakraban yang meninggi akan menyatukan dan mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Hal tersebut membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma, terarah atas ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam perspektif keluarga bentuk mikrokosmik. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan  terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.
Rupa-rupanya Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan.
Seiring dengan kontemplasi dan observasi Comte dalam mencari jalan tengah serta persentuhannya dengan romantisme platonis, perang terus menerus dan individualitas mengembang bagai jamur di musim hujan pada zaman post-revolusi Perancis semakin menentukan arah pemikiran Comte yang empirik itu.
Pendobrakan  besar-besaran dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama) mendapatkan kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan  melakukan pembodohan yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.
Dalam pada itu Comte yang telah meyakini ilmu pengetahuan yang ditebarkannya mencoba mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari umat manusia. Begitupun kesatuan organis terkecil di masyarakat, amat mempengaruhi Comte sebagai institusi yang dapat meradiasi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam pembentukan sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia, Comte menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya.
Idealisasinya berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, dilengkapi oleh Comte. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas, dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia. Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Kemanusianlah yang kudus dan sakral, bukanlah Allah karena banyak penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.
Comte menciptakan agama tersebut, terlihat seakan mengalami romantisisme terhadap pengalamannya yang lalu bersama Clotilde de Vaux dan menghasilkan hubungan yang berbuih saja dan realitas sosial yang juga turut membentuknya. Dari sini pada saat Comte, membentuk ceremonial keagamaannya dengan mengadakan penyembahan terhadap diri perempuan, Comte dikatakan oleh para intelektual lainnya kehilangan konsistensi terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkannya karena pemikirannya sudah terbungkus dengan perasaan. Comte dikatakan tidak ilmiah.
Namun permasalahan pemujaan Comte, terhadap perempuan diadopsi dari rentang sejarah ceritra bunda Maria, bukan karena adanya penolakan perasaan cintanya dari Clotilde de Vaux. Dalam hal ini Comte dapat juga dikatakan mengadakan sublimasi terhadap obsesinya, yaitu kebebasan berpikirnya atas idealismenya agar dapat menyiasati secara strategis. Menciptakan masyarakat positivis di masa depan, dalam kontekstual hubungan seks antara pria dan perempuan tidak perlu ada lagi dan “kelahiran manusia-manusia baru akan keluar dengan sendirinya dari kaum perempuan”. Di era sekarang hal tersebut merupakan pemandangan umum, perkembangan reproduksi melalui tekhnologi kedokteran telah berhasil mengaktualisasikan ide tersebut.
Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya yang sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal to Conservatives.
Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.
4. Kesimpulan
            Auguste Comte adalah, manusia yang berjalan di tengah-tengah antara ideologi yang berkembang ( progressiv vs konservatif ), berada pada ruang abu-abu ( keilmiahan ilmu pengetahuan ). Comte memberikan sumbangsih cukup besar untuk manusia walaupun, ilmu pengetahuan yang dibangun merupakan ide generatif dan ide produktifnya. Comte turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.

Kamis, 05 Januari 2012

Contoh proposal


PILKADA KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR DAN SOLIDARITAS MASYARAKAT DI KECAMATAN WAKATE
(Studi Kasus di Desa Lahema)


PROPOSAL






OLEH

ARFANDI ANANDA
NIM: 1002035062

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2011


A.    LATAR BELAKANG
Hubungan antara pemerintah (state) dengan warga negara/rakyat (society) selalu berada dalam bingkai interaksi politik diantara keduanya dalam wujud organisasi negara. Hubungan state dan society ini dapat tergambarkan dalam icon yang diberi label demokrasi. Sejak lama sebagai gambaran besar, demokrasi    menjadi cara terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern. Demokrasi yang dimaksud merupakan instrumen universal namun juga memiliki karakteristik ideografis dalam hal tertentu. Misalnya; kita akan menemukan demokrasi         liberalis, demokrasi sosialis dan demokrasi pancasila. Sementara dalam hirarki suatu negara, jangkauan pengaruh kita bisa dapat merujuk pada dua jenis atau       kelompok demokrasi, yaitu: demokrasi dalam lingkup negara dan demokrasi       lokal.
Demokrasi sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dengan hirarki kekuasaan yang terdapat di dalamnya suatu sistem politik negara. Artinya, akan terdapat sistem politik nasional yang di dalamnya terdapat subsistem politik daerah dalam bingkai sistem negara yang dianutnya. Pemilihan demokrasi lokal bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya.
Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya barada dalam bingkai koridor pemerintah daerah. Di Indonesia demokrasi lokal merupakan subsitem dari demokrasi yang memberikan peluang bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kehidupan hubungan pemerintahan daerah dengan rakyat dan lingkungannya.
Dalam era reformasi saat ini pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sesuai dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka penyelarasan terhadap hal tersebut, maka pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat berdasarkan Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakatnya. Secara umum ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan dengan rakyatnya dalam hal penggunaan hak politiknya. Namun secara lebih mendalam masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu kekhawatiran itu munculnya usaha judicial riview dari komponen masyarakat pada Mahkamah Konstitusi terhadap hal yang akan mengurangi kadar demokrasi nyang dimaksudkan.
Kepala dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan demokratis berdasarkan asas secara langsung, umumn bebas, rahasia, adil dan jujur pasangan calon tersebut diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Ketika berbicara mengenai demokrasi lokal atau dengan kata lain adalah Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), maka saya kembali mengulaskan             terkait dengan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Seram Bagian Timur.       Namun sebelumnya perlu saya memberikan sedikit gambaran tentang profil Kabupaten Seram Bagian Timur dan kecamatan-kecamatan yang ada di bawah naungannya.
Kabupaten Seram Bagian Timur adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Maluku yang paling timur, dimana dikabupaten ini memiliki enam kecamatan. Diantaranya Kecamatan Bula, Kecamatan Werinama, Kecamatan Tutuk Tolo, Kecamatan Seram Timur, Kecamatan Pulau Gorom dan Kecamatan Wakate.  Diantara enam kecamatan yang ada ini merupakan kecamatan-kecamatan yang sistem adatnya masih sangat kental sekali. Stratifikasi sosialnya masih sangat terlihat jelas dimana perbedaan kasta masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Atau secara universal maka dapat dikatakan bahwa Kabupaten Seram Bagian Timur merupakan salah satu kabupaten yang memiliki negeri raja-raja.
Dimana kehidupan masyarakat pedesaan  pada setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Seram Bagian Timur ini betul-betul dijaga. Artinya bahwa solidaritas sosial yang ada pada kecamatan-kecamatan di Kabupaten Seram Bagian Timur tersebut betul-betul terjaga dan sangat dipelihara. Salah satunya adalah Desa Lahema Kecamatan Wakate, dimana di desa ini adalah salah satu desa yang yang memiliki sistem adat yang masih sangat kental sehingga hubungan solidaritas sosial antar sesama masyarakat pun dipelihara dengan sebaik-baiknya. Bahkan di dalam desa ini (Lahema) para penghuninya hanya orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan saja (adik dan kakak).
Dimana pandangan Email Durkheim bahwa “solidaritas sosial menekan pada keadaan hubungan antara individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antara mereka.”
Tetapi semenjak demokrasi lokal bergulir, yaitu; pesta rakyat (PILKADA) Kabupaten Seram Bagian Timur yang ditunjuk langsung oleh rakyat. Dimana pesta rakyat tersebut berjalan pertama kali di Kabupaten Seram Bagian Timur, yaitu pada tahun 2005 (2005-2010 adalah periode pertama). Pada saat itu kandidat yang mengikuti kompetisi akbar tersebut terdiri dari tiga pasangan calon. Namun yang menang dalam kompetisi tersebut adalah Abdullah Vanath_Siti Umariah Suruwaky. Nah dari proses pemelihan kepala daerah (PILKADA) di periode pertama inilah keretakan hubungan kekeluargaan masyarakat desa Lahema berawal. Entah mereka termakan dengan janji-janji politik atau karena fanatiknya masyarakat terhadap pasangan pencalonan atau mungkin juga karena faktor keluarga yang mengikuti kompetisi tersebut atau mungkin saja ada hubungan emosional antara si pencalonan dan masyarakat sehingga mengakibatkan keretakan ini terjadi. Tetapi proses pemelihan kepala daerah (PILKADA) di periode pertama ini (pada tahun 2005) keretakan solidaritas sosial di Desa Lahema belum sebegitu parah. Artinya bahwa pada saat itu dalam lingkungan sosial di Desa Lahema hanya miskomunikasi       (tidak saling tegur) dan perkelahian antar sesama saja.
Kemudian pada bulan Juni tahun 2010 yang lalu yaitu pesta rakyat yang kedua kalinya digelar untuk menentukan kepemimpinan Kabupaten Seram Bagian Timur periode 2010-2014, dimana pada saat itu hanya diikuti oleh dua kandidat saja yaitu Mukti Keliobas_Jusup Rumatoras versus Abdullah Vanath_Sitti Umariah Suruwaky (incumbent). Tetapi dalam pertarungan ini pihak incumbent lah (Dullah_Sitti) yang memenangkan kompetisi tersebut yang kedua kalinya.
Namun, lagi-lagi keretakan hubungan kekeluargaan masyarakat Desa Lahema tidak bisa dihindari. Malahan dia hancur total dan lebih parah lagi dari pada periode pertama, perang saudara pun mulai terjadi. Bagaimana tidak, hal ini dapat saya katakan karena keretakan hubungan kekeluargaan di pemilihan kepala daerah Kabupaten Seram Bagian Timur periode berikut ini saja di Desa Lahema Kecamatan Wakate ada pembongkaran rumah yang dilakukan oleh saudara sendiri, ada masyarakat yang lebih memilih berangkat menghilang dari kampung (Desa Lahema) dan bahkan baku hantam (saling baku potong) sering terjadi.
Ketika melihat konflik politik yang ada, maka dapat dibagi konflik pilkada menjadi dua, yaitu: konflik elit politik lokal dan konflik elit politik non lokal. Yang dimaksudkan dengan elit politik lokal disini adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit politiknya seperti: Gubenur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan partai politik. Sementara non elit politik adalah adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
Konflik elit dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat faktor penyebab, motif dan kepentingan-kepentingan politiknya. Pertama, dari segi pengertiannya, konflik diartikan sebagai pertentangan yang terbuka antar kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat oleh orang luar. Pengertian konflik disini merujuk pada hubungan antar kekuatan politik (kelompok dan individu) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Kedua, sasaran-sasaran yang tidak sejalan sesungguhnya menunjukkan adanya perbedaan kepentingan. Karena itu, kepentingan dapat digunakan sebagai cara untuk melihat perbedaan motif diantara kelompok yang saling bertentangan, baik dalam sebuah kelompok yang kecil maupun dalam suatu kelompok yang besar. Perbedaan kepentingan setidaknya akan menunjukkan motif mereka berkonflik.
Menurut Domhof, motivasi seseorang untuk merebut kekuasaan, selain dia ingin berkuasa, mereka juga inginkan uang, jaringan dan investasi strategis.
Menurut Webster (1966), istilah “Conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu berkembang dengan masuknya “ketidak sepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict”menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan setatusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Di sisi lain konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (peceivetdivergance of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
Marx, dalam Materialisme Dialektikalnya melihat fakta bahwa konflik mendorong timbulnya konflik lebih lanjut, bahwa perubahan tidak dapat dihindari, dan bahwa paling tidak menurut pendapatnya, perubahan ini hampir akan selalu mengarah pada peningkatan mutu kondisi manusia.
Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri; dan Kedua, pergantian terjadi di antara elit dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu:
1.      Individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada.
2.      Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.
Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuanya dan orang luar di kelas tersebut menunjukkan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru.
Ketiga, dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh Masco, terutama karena terjadinya “penjatuhan rezim”, konflik pasti tidak terhindarkan, karena masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam cara. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti organisasi dan jumlah, uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya. Keempat, tata cara mekanisme sirkulasi elit ini akan sangat menentukan sejauh mana sistem politik memberikan karangka bagi terujutnya pergantian kekuasaan di suatu negara. Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya prosesnya tidak selalu mulus, apalagi dalam konteks politik internasional yang menunjukkan sifat-sifat ketidaknormalan. Meskipun ada tata cara umum sebagaimana diatur dalam UU No.22/1999, tetapi masing-masing DPRD mempunyai tata cara dan mekanisme masing-masing dalam pergantian elit. Kelima, dalam memahami konstelasi dan rivalitas politik elit, perlu juga dipahami tentang fenomena dan perilaku massa. Untuk memetakan perubahan politik di masyarakat antarwaktu misalnya, kita bisa meminjam kategori teoritik dari Amitai Etzionis (1961) yang membagi masyarakat atau massa ke dalam tiga kategori besar. (1) massa moral; (2) massa kalkulatif, dan (3) massa alienatif. Massa moral adalah yang potensial terikat secara politik pada suatu orsospol karena loyalitas normatif yang dimilikinya. Massa moral bersifat tradisional, cenderung kurang atau tidak kritis terhadap krisis-krisis empirik. Massa kalkulatif adalah massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli dan kritis terhadap krisis-krisis empirik yang dihadapi oleh masyarakat di sekitarnya. Massa ini akrap dengan modenitas, sebagian besar menepati lapisan tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit (berpandangan mendunia) dan punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi. Massa alienatif adalah massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada mobilitisi politik, dan pada saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi politik itu bagiannya dan bagi proses politik secara umum. Keenam, bagaimanapun karakteristik konfliknya, kecenderungan untuk terjadinya “integrasi” dalam rangka untuk mengakhiri konflik pasti terjadi. Oleh karena itu, gagasan pendekatan baru bahwa sistem politik demokrasi dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian konflik dan dapat digunakan sebagai pisau analisis.
Begitu pula dengan Email Durkheim yang berpandangan “bahwasannya masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial tetapi melainkan juga pangkal kesadaran kolektif        dan dan sasaran utama dari perbuatan moral.” Moralitas merupakan suatu keinginan yang rasional. Jadi perbuatan moral bukanlah sekedar kewajiban yang tumbuh dari dalam diri melainkan juga kebaikan ketika diri telah dihadapkan dengan dunia    sosial.
Jadi sudah barang tentu bahwa ketika suatu daerah yang lahir dengan sifat solidaritas yang sangat kental seperti di Desa Lahema Kecamatan Wakate ini, maka sudah menjadi harga mati moral menjadi modal dasar yang dimiliki pada lingkungan sosial tersebut amat terjaga. Apapula daerah-daerah ini adalah daerah yang sistem adatnya masih sangat kental, maka ketika sebentar nanti ada individu yang melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai dan norma-norma kolektif maka akan timbul rasa bersalah dan ketegangan dalam bathin.
Moralitas mempunyai keterikatan yang erat dengan keteraturan perbuatan   dan otoritas. Suatu tindakan bisa disebut, kalau tindakan itu tidak menyalahi kebiasaan yang diterima dan didukung oleh sistem kewenangan otoritas sosial yang berlaku, juga demi keterikatan pada kelompok. Jadi keseluruhan kepercayaan dan perasaan umum di kalangan anggota masyarakat membentuk sebuah sistem tertentu yang berciri khas, sistem ini dinamakan hati nurani kolektif atau hati nurani       umum.

B.     RUMUSAN MASALAH
Terkait dengan uraian latar belakang yang telah saya kemukakan di atas,   maka permasalahan pokok yang diangkat dalam penulisan adalah sebagai        berikut:
Bagaimana Pemilihan Kepala Daerah kabupaten Seram Bagian Timur Terhadap Solidaritas Masyarakat di Desa Lahema Kecamatan Wakate?
C.    TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari pada penelitian adalah sebagai berikut:
1.      Ingin mengetahui fenomena yang melatar belakangi hancurnnya solidaritas sosial di Desa Lahema Kecamatan Wakate Kabupaten Seram Bagian Timur.
2.      Ingin mengetahui solidaritas masyarakat di Desa Lahema Kecamatan Wakate setelah pemilihan kepala daerah Kabupaten Seram Bagian Timur.
2.   Manfaat Penelitian
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapa memberikan sumbangsi yang sangat-sangat positif bagi pemerintahan setempat, baik itu pemerintah desa, kecamatan maupun pemerintah kabupaten agar dapat mencari solusi guna menyelesaikan persoalan yang ada. Dan juga diharapkan sosialisasi politik harus dilakukan di kalangan sosial pada Desa Lahema bahkan Kecamatan Wakate.
Kemudian dari hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai sebagai referensi bagi pemerintah kabupaten dan masyarakat sekabupaten Seram Bagian Timur kelak nanti.
D.    KERANGKA TEORI
Ketika berbicara mengenai demokrasi lokal/pemilihan kepala daerah atau lebih dikenal dengan nama PILKADA dan solidaritas sosial maka kita kembali melihat teori-teori yang dapat memperkuat proposal ini dari sisi legitimasinya, yaitu:
Kajian tentang PILKADA secara langsung pada dasarnya merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagai mana dinyatakan oleh Tip O Neiil, “all politics is local”, yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. PILKADA secara langsung adalah perkembangan menarik dalam sejarah perpolitikan lokal di negeri ini, karena PILKADA langsung merupakan momentum pelekatan dasar fondasi kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi di aras lokal.
Secara sederhana demokrasi adalah sebuah sistem untuk membuat keputusan-keputusan politik dimana individu-individu mendapat kekuasaan melalui pertarungan kompetitif memperebutkan suara rakyat. Pemaknaan demokrasi, dengan tekanan pada konsep kompotisi dan partisipasi, antara lain di anut oleh Samuel P. Huntintong. Berlangsungnya Pemilu berkala yang bebas adil, demokratis, kompotitif, dan dengan hak pilih universal merupakan pembeda paling penting antara sistem demokrasi dan sistem otoriter.
Teori konflik sebenarnya merupakan teori yang menegasi teori fungsional.     Di dalam teori fungsional dapat diejawantahkan sebagai sebuah harmoni yang menyatu. Harmoni tersebut terjadi karena unit-unit yang ada berfungsi sesuai apa yang diharapakan. Di dalam teori konflik selalu identik dengan kekuasaan. Kekuasaan sebagai sebuah manifestasi atas sebuah keberhasilan dan seringkali menimbukan disharmoni dalam tataran ruang dan waktu. Dalam perspektif teori konflik, kepentingan sangat mendominasi dan sebagai sebuah upaya untuk menciptakan perubahan sosial.
Dalam praktis politik demokrasi, konflik atau perbedaan kepentingan, persepsi, interpretasi terhadap mekanisme PILKADA sebetulnya tidak saja mengandung nilai-nilai positif pembelajaran politik, melainkan juga merupakan strategi politik yang sering dipraktikkan banyak negara demokratis. Konflik dalam praksis politik sebetulnya tidak mungkin dihindari, apalagi bagi Indonesia yang memiliki multipartai politik.
Konflik di masyarakat merupakan sesuatu yang tak bisa dielakkan, maka yang perlu diketahui bukanlah apakah konflik itu ada atau tidak ada, tapi bagaimana intensitas dan tingkat kekerasannya, dan dalam bentuk apa konflik itu. Apakah menyangkut masalah fundamental atau isu-isu sekunder, pertentangan tajam atau sekadar perbedaan pandangan?
Intensitas konflik menunjuk pada tingkat pengeluaran energi dan keterlibatan pihak-pihak (kelompok-kelompok) yang berkonflik. Sedangkan kekerasan konflik menyangkut alat/sarana yang digunakan dalam situasi konflik, mulai dari negosiasi hingga saling menyerang secara fisik. Konflik antarkelompok yang menyangkut masalah prinsip dasar (fundamental) akan menimbulkan pertentangan antarkelompok yang lebih serius dibandingkan bila masalahnya sekadar bersifat sekunder atau dinilai tak penting.
Menurut Lewis Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya dapat terbentuk dan dipertahankan. Konflik juga mencegah suatu pembekuan sistem sosial dengan mendesak adanya inovasi dan kreativitas         (Garna, 1992: 67). Karena konflik lebih banyak dilihat dari segi fungsi positifnya, maka Teori Konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial.
Konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antarkelompok merupakan penghadapan antara in-group dan out-group. Ketika konflik terjadi, masing-masing anggota dalam suatu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group). Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya. (Poloma, 1987: 108). Ketika ada ancaman dari luar, maka kelompok tidak mungkin memberikan toleransi pada perselisihan internal.
Tidak ada seorang sosiolog yang patut diberi acungan jempol, karena ketelitiannya dalam membahas masalah solidaritas sosial kecuali Emile Durkheim. Terbukti darinya lahir pembagian solidaritas kepada mekanik dan organik. Hasil analisa Durkheim tidak hanya menambah kuantitas fokus para peminat sosiologi, dalam memahami solidaritas sosial dan keterkaitannya dengan tema lain, tetapi sekaligus menambah keyakinan terhadap kebenaran pendapatnya, mengenai pondasi dasar sosial yang sebenarnya, dengan tanpa mengabaikan pendapat sosiolog lain mengenai hal tersebut.
Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah “kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”. Solidaritas sosial menurutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan, dibagi menjadi dua yaitu: pertama, mekanik adalah solidaritas sosial yang didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu. Yang ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral. Sedangkan yang kedua, organik adalah solidaritas yang muncul dari ketergantungan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya akibat spesialisasi jabatan (pembagian kerja).
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas ‘organik’. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang ‘organik’, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif-seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Menurut Durkheim terjadi suatu evolusi berangsur-berangsur dari solidaritas mekanis ke solidaritas organis yang didasarkan atas pembagian kerja. Evolusi itu dapat dilihat dari meningkatnya hukum restitutif yang mengakibatkan berkuranya hukum represif dan dari melemahnya kesadaran kolektif. Surutnya keasadaran kolektif itu tampak paling jelas didalamnya hilangnya arti agama. Dengan demikian maka terdapat lebih banyak ruang bagi perbedaan-perbedaan individual. Tetapi Durkheim mengemukakan pada waktu yang sama bahwa kesadaran kolektif dalam segi-segi tertentu justru bertambah kuat, yaitu dimana kesadaran kolektif ini memberi tekanan kepada martabat individu.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Dengan demikian solidaritas mekanis;
1.      Didasarkan pada kesadaran kolektif yang kuat, menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata ada pada warga masyarakat yang sama itu.
2.      Pembagian kerjanya rendah karena bentuk solidaritasnya adalah pekerjaan jadi segala sesuatu dikerjakan secara bersama-sama.
3.      Solidaritas mekanis merupakan bentuk solidaritas yang tergantung pada individu yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama juga sehingga sifat-sifat individualistisnya juga rendah.
4.      Hukum bersifat menekan atau represif.
5.      Bersifat primitif pedesaan.
Dan solidaritas organik;
1.      Muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar.
2.      Pembagian kerja sudah ada, karena masyarakat modern lebih berpangkal pada individu dari segi keunikannya yang tidak tergantikan, yang menuntut bermacam-macam lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan preferensi masing-masing anggota sehingga pembagian kerja semakin terspesialisasi berdasarkan fungsi-fungsi berdasarkan kecakapan individu. Kemudian muncullah fungsionalisme.
3.      Funsionalisme melihat sistem sosial ibarat tubuh yang saling terkait satu dengan yang lainnya, jika satu bagian sakit, maka seluruh anggota tubuh lain harus diupayakan menyembuhkannya agar ia dapat beraktifitas seperti biasa.
4.      Didasarkan pada tingkat ketergantungan yang tinggi.
5.      Kesadaran kolektif lemah dan individualitas tinggi.
6.      Hukum bersifat memulihkan atau restitutif.
E.     DEFENISI KONSEP DAN DEFENSI OPERASIONAL
1.      Defenisi Konsep
Untuk menghidari kesalah pahaman dalam penafsiran judul penulisan, maka penulis maka penulis memberikan pengertian istilah yang digunakan:
Yang dimaksudkan dengan PILKADA atau pemilihan kepala daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 PP No 6/2005 tentang Pemelihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah), mengatur tentang “kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, bupati dan wakil bupati untuk kabupaten dan walikota dan wakil walikota untuk kota”.
2.      Defenisi Operasional
PILKADA adalah proses penentuan pimpinan daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat tanpa diwakili. Dimana penentuan/pemilihan tersebut dapat dilakukan secara umum, bebas dan rahasia tanpa ada paksaan dari pihak yang mengikuti kompetisi.
Solidaritas sosial adalah hubungan kekerabatan yang dimiliki antar orang dan/atau kelompok sosial yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
F.     METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk meneliti permasalahan yang diangkat adalah metode penelitian kualitatif.
1.      Lokasi Penelitian
Sesuai dengan gambaran umum permasalahan yang telah saya ulaskan pada latar belakang dalam penyusunan proposal ini, maka yang akan menjadi lokasi dalam penelitian ini adalah di Desa Lahema Kecamatan Wakate Kabupaten Seram Bagian Timur.
2.      Informan Kunci
Dalam penulisan ini penulis mengumpulkan data dari enam orang informan, yang terdiri dari 1 orang tokoh pemerintahan, yakni bapak kepala desa Lahema,          1 orang tokoh agama/bapak imam, 1 orang kepala pemuda, 2 orang tokoh pendidikan, yaitu kepala sekolah SD dan SMP dan 2 orang tokoh masyarakat.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Penulis berhasil mengumpulkan data dalam penelitian ini, dengan menggunakan dua teknik, yaitu sebagai berikut:
a.      Penelitian Lapangan
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian di lapangan, maka penulis menggunakan teknik:
1)      Wawancara secara mendalam (indept interview), yaitu dengan melakukan wawancara secara mendalam dalam dengan para informan dengan cara mengajukan pertanyaan serta mengembangkan pertanyaan lanjutan berdasarkan jawaban informan.
2)      Observasi lapangan, yaitu pengamatan langsung di lokasi penelitian, untuk mengidentifikasikan serta menginventarisasikan berbagai fakta sosiologis yang ada di lapangan terkait dengan solidaritas sosial setelah PILKADA Kabupaten Seram Bagian Timur beberapa bulan yang lalu.
b.      Studi Kepustakaan
Penulis melakukan upaya untuk memperoleh data melalui buku-buku literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.
c.       Analisa Data
Setelah data sudah dikumpulkan, kemudian penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengelolah dan menganalisa datasecara kualitatif dengan cara:
1)      Mengumpulkan dan mengkategorikan data penelitian sesuai tujuan penelitian yang hendak penulis capai.
2)      Analisa data dan interprestasi data.
3)      Kegiatan verifikasi dan penarikan kesimpulan.
G.      DAFTAR PUSTAKA
Drs. Philipus. Ng-Dr Aini Nurul, M.S, Sosiologi dan Politik, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2004.
Narko J. Dwi-Suyanto Bagong, Sosiologi Teks Pengatar & Terapan. Cetakan Perdana Media Group. Jakarta 2004.
Utomo, Tri Widodo W, 2004, Pilkada Langsung Dalam Kerangka Reformasi Birokrasi.
Pruit. G Dean-Rubin. Z Jeffry, 1986 Teori Konflik Sosial Pustaka Pelajar.  Yogyakarta.
Anthony Giddens. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern “Suatu Analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber”. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta 1986